MoU Antara Dewan Pers Dengan Polri, Penting Gak Ya ?

Oleh : Ilham Akbar Rao *

SORE kemarin saya menerima dua pesan WA dari wartawan yang tinggal di Kepulauan Bangka Belitung (Babel), pesan pertama yang dia kirim adalah satu bundel camscanner PDF berisi Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang baru saja diperpanjang dan ditandatangani bersama oleh Ketua DP M. Nuh dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo pada 16 Maret 2022 lalu. Tidak lama, pesan satunya dari wartawan yang sama tiba, isinya : Mohon petunjuk?

Bacaan Lainnya

Saya berfikir sejenak bagaimana menanggapinya, wong media saya juga belum terverifikasi di Dewan Pers (DP) ?, lagi pula saya lebih condong dengan perjuangan jurnalis yang menjadi bagian dari Dewan Pers Indonesia (DPI), dari DPI ini saya banyak belajar mengenai UU Nomor 40/1999 tentang Pers Nasional yang sakral bak kredo bagi wartawan seantero Indonesia, termasuk mengetahui bagaimana seharusnya DP ini bekerja berdasarkan undang-undang.

Namun, karena tidak ingin mengecewakannya, saya tetap memberikan pendapat atas pertanyaan wartawan ini. Penjelasan mula yang saya sampaikan adalah nota kesepahaman (MoU) antara DP dengan Polri yang disusun untuk meningkatkan koordinasi dalam perlindungan terhadap kemerdekaan pers serta penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan ini sudah sejak tahun 2012 diteken, artinya MoU terakhir ini merupakan kelanjutan saja.

“Tidak ada yang istimewa dengan MoU ini karena merupakan kelanjutan saja,” kata saya.

“Maksudnya?”

“Zaman Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan Ketua DP Bagir Manan pertama kali di tandatangani, memang penerapan di lapangan saya rasa belum maksimal. Namun kita patut bersyukur dan apresiasi kapolri sekarang memberikan perhatian lebih pada penanganan sengketa pers,” jawab saya.

“Media kita apa terdaftar di Dewan Pers ?”

“Tidak”

“Lalu bagaimana polisi menangani media yang tidak tergabung di Dewan Pers?”

“Bekerja saja sesuai UU dan kode etik jurnalis, jangan melakukan tindak pidana”

“Ini anggota kepolisian yang tanya,” sergahnya.

Mendengar kalimat terakhir ini, saya merasa perlu agak serius meski yang saya pahami juga tidak banyak-banyak amat, selain itu saya jadi berfikir MoU antara DP dengan Polri selama ini mungkin minim sosialisasi, sehingga salah seorang anggota kepolisian merasa perlu menanyakannya kepada wartawan.

Penjelasan saya selanjutnya, adalah nota kesepahaman antara DP dengan Polri ini merupakan langkah kerjasama dalam penguatan penanganan sengketa pers, yang berhulu dari semangat kemerdekaan pers di tanah air. Sebagai wartawan kita mesti bersyukur atas MoU ini, walau dalam kenyataannya mewujudkan hal ini jelas bukan perkara gampang dan masih memerlukan waktu panjang, karena kebebasan pers di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kekuasaan politik, dan bila situasi ini saling berhadap-hadapan maka politik seringkali didahulukan sehingga justru memaksa polri berpotensi membungkam kebebasan pers itu sendiri. Contohnya penerapan UU Nomor 40/1999 yang masih sangat jarang digunakan penyidik kepolisian dalam perkara atau sengketa terkait pemberitaan media maupun profesi jurnalis, justru yang seringkali terjadi ialah pengenaan UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kemudian di amandemen menjadi UU Nomor 19/2016. Selain itu ada juga KUHP Pasal 310 tentang Pencemaran Nama Baik dan KUHP Pasal 311 tentang Fitnah. Undang-Undang dan pasal-pasal dalam KUHP tersebut hingga kini nyatanya masih menjadi momok menakutkan yang siap menerkam perusahaan media dan wartawan sewaktu-waktu.   

Adapun terkait media yang belum terverifikasi di Dewan Pers (DP), saya tegaskan kepada wartawan ini, penanganan sengketa pers tidak melihat mana media yang sudah atau belum di verifikasi, jadi bila ada nara sumber atau seseorang yang merasa keberatan dengan pemberitaan di suatu media dan melapor ke polisi, maka polisi seharusnya memberikan saran untuk menyelesaikannya lewat mekanisme yang diatur dalam UU Pers Nomor 40/1999 seperti penggunaan hak jawab dan hak koreksi. Bila si pengadu  kukuh ingin menempuh jalur hukum di luar UU Pers, maka polisi harus berkoordinasi dengan Dewan Pers (DP) dan DP berkewajiban mempertemukan para pihak (pengadu dan teradu) untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan tersebut dengan mekanisme UU Pers Nomor 40/1999 tentunya. Sedangkan verifikasi media, menurut saya ini menjadi tanggungjawab Dewan Pers (DP), jadi DP lah yang seharusnya bekerja dan jemput bola untuk mendata sekaligus memferivikasi media-media ini.

Setelah hampir satu jam membahas MoU antara Dewan Pers dengan Polri ini, di penghujung telepon saya bertanya dengan antusias, kira-kira dialog kami seperti ini.

“Sampai disini apa sudah paham?” tanya saya.

“Belum,” katanya

“Bagian yang mana?”

“Semuanya”

“Bagus kalau begitu, tidak usah dipikirin deh. Kerja aja yang betul, jangan meras,” kata saya setengah dongkol sembari menutup telepon.

* Pemred Target Buser Online (TBO)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *