Haji Sukir …. oughh yeahh

Oleh : Ilham Akbar Rao*

“H. Sukir jadi pak!!!”

Bacaan Lainnya

SUATU ketika di 26 April 2021, sebuah pesan masuk di ponsel saya, pengirimnya seorang jurnalis, isinya singkat namun penuh penegasan, ia hanya ingin mengabarkan sosok yang sudah sama-sama kami kenal dekat, saat itu dilantik sebagai orang nomor satu di salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, istilah intelejennya ini informasi sahih (A1).

Membaca pesan ini, memori saya langsung mundur sembilan tahun, saat tokoh yang diceritakan kawan saya ini menjabat sebagai wakil bupati, pertemuan pertama kali dengannya memiliki kesan mendalam buat saya. Suatu sore, setelah mengatur janji, saya tiba di rumah dinas nya, seorang penjaga yang sepertinya sudah diberitahu kedatangan saya meminta untuk menunggu, karena tuan rumah sedang menunaikan solat ashar. Tak berapa lama, yang dinanti keluar, dengan ekspresi sumringah dan masih mengenakan stelan kaos oblong plus kain sarung ia menemui dan menyalami saya, orangnya sangat bersahaja, ia lantas menanyakan situasi di perjalanan, kemudian meminta saya menemaninya makan, katanya pantang nolak rezeki. Wallhasil, kami pun bersantap bersama, menunya sederhana khas kampung, saya lirik ia makan dengan tangan, saya pun mengikuti.

Selesai makan, kami bergeser ke ruang utama, karena ia lihat sedari tadi saya memperhatikan sekeliling, ia pun berucap sudah biasa menerima siapa saja di rumah dinas, alasannya simpel, ini rumah dibangun pakai uang rakyat juga katanya. Obrolan kemudian berlanjut soal kembang kempis jalan hidupnya, segala hal, dari perjuangan menamatkan sekolah, sampai saat ia memutuskan merantau puluhan tahun di ibukota, lalu kembali ke kampung halaman dengan tanggungjawab lebih luas demi memajukan tanah kelahiran.

Di Jakarta, ia cerita sempat bekerja di RRI dan TVRI, kebetulan ia dianugerahi tuhan pita suara yang merdu, modal inilah yang membuat ia bisa diterima di pergaulan artis (penyanyi) ibukota kala itu, tidak hanya menyanyi, ia pun cakap mencipta lagu, namun pemuda kampung ini harus menunda mimpinya menjadi pesohor, ia sempat drop karena ada situasi tak pas berkecamuk dalam hatinya, mungkin juga takut terjerumus dalam pergaulan negatif di tahun 80-an, saat itu Indonesia memang berancang-ancang lepas landas, dan sedang kuat-kuatnya budaya westernisasi di kalangan anak muda.

Tak mau menganggur lama-lama, ia pun banting stir mencoba peruntungan baru, dengan bekerja pada salah satu perusahaan di daerah Glodok dan Kenari, kebetulan pemilik usaha sama-sama berasal dari Bangka Belitung. Dengan modal kejujuran dan ketekunan, nasibnya pun lambat laun berubah, ia dipercaya penuh pimpinan tempat ia bekerja, tercatat sebelum kembali ke Bangka Belitung pada 2005, ia sudah bekerja kurang lebih selama 21 tahun disana. Pekerjaan terakhir ini lah yang banyak menginspirasi falsafah hidupnya, bahwa keberhasilan datang dari Allah SWT, kuncinya hanya solat dan sabar, di luar itu kita memiliki kewajiban untuk terus berusaha dengan memanfaatkan segala potensi dan peluang dalam diri, serta sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang memberikan manfaat bagi orang banyak. Hal ini lah yang saya rasa mengilhaminya terjun ke dunia politik, sehingga pembawaannya selalu santai meski jalan politiknya tidak selalu mulus. 

Tanpa terasa sudah hampir 90 menit kami bercengkrama, satu yang amat saya sesalkan, meski ia wakil bupati, namun obrolan kami justru jauh dari politik, ia seperti enggan bicara hal yang satu ini, atau memang beginilah gaya berpolitiknya (hanya dia dan tuhan yang tahu).

Sebagai seorang jurnalis yang terbiasa mewawancarai berbagai karakter pejabat, tentu saya tidak boleh kehabisan ide, sempat saya singgung tentang gaya kepemimpinan dan kinerja bupati yang banyak disorot masyarakat, karena dianggap berbeda dengan janji saat kampanye, atau ketika ada warga yang mengatakan lebih sulit menemui bupati ketimbang dirinya. Namun alih-alih terpancing, ia justru membela pasangan politiknya ini, bupati katanya sudah maksimal bekerja, bila ada yang belum sesuai harapan, akan ia jadikan masukan dan saran. Analisis saya, tidak tampak niatannya menggeser posisi orang nomor satu, bahkan ia mengaku bupati adalah salah satu guru politiknya. Saya coba menggoda hal lain, saya tawarkan proposal kerjasama dari salah satu pengusaha, saya kaget setengah mati, karena dia pun diam setengah mati (tak menanggapi).

Untuk urusan ekonomi, mineral timah yang menjadi primadona di kepulauan ini, baginya harus juga bisa dinikmati rakyat, bentuknya bisa diwujudkan dalam pembangunan, peningkatan taraf hidup masyarakat, pendidikan maupun lain hal. Namun ia lebih menitikberatkan untuk mengubah mindset warga agar tidak terlalu bergantung pada komoditi ini. Inilah yang mungkin, mengapa ia selalu enggan berurusan terlalu dalam dengan yang satu ini, kerap kali ia menyerahkan urusan tambang menambang ini kepada pasangan politiknya, yah mungkin, begitulah bentuk cintanya pada masyarakat di daerahnya.

Saat itu, ia justru lebih bersemangat bercerita soal musik, pembicaraan kami sedari awal di dominasi soal satu ini, beberapa alat musik miliknya memang terlihat di rumah dinas ini, sempat ia berdendang irama melayu, batin saya berkata, lawan bicara saya ini wakil bupati atau penyanyi, karena bersiulnya saja sudah merdu.

Sebelum meninggalkan kediamannya, sempat ia menasehati agar saya membuka pikiran untuk hal baru, misalnya berbisnis, namun tidak meninggalkan kegiatan tulis menulis (jurnalis) tentunya. Menjelang maghrib saya pun berpamitan, sebelum pergi ia memberikan kenang-kenangan berupa cakram padat (CD) berisi satu album lagu miliknya, ia juga mendesak agar mengabarinya bila akan pulang ke Jakarta.

Sejak pertemuan awal yang berkesan ini, hubungan kami pun tambah akrab, meski hanya lewat udara (telepon). Saat ia mewakili daerahnya dalam acara pengenalan potensi wisata dan budaya daerah di TMII, Jakarta Timur, ia mengundang saya bertemu.

Tahun berganti, komunikasi kami pun tidak lagi terlalu intens, mungkin karena kesibukan masing-masing, namun kabar dan aktivitas politiknya tetap saya ikuti. Saya ingat, pada pilkada 2015 ia maju menjadi calon bupati, hasilnya hanya selisih 250 suara dari pasangan pemenang, tahu ada ketidakberesan, ia pun menggugat ke MK. Sayang gugatan ini ditolak.

Namun bukan seniman namanya bila berhenti berkreasi, pada 2017 ia justru dipinang calon incumbent di Pilkada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, calon petahana ini berlatar belakang politisi sekaligus salah satu pengusaha kelas atas di provinsi ini, namun lagi-lagi keberuntungannya pungkas. Tak putus asa,  ia mencoba jalur lain dengan mengikuti pemilihan legislatif (pileg) di tahun 2019, kali ini moncer, ia terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.    

Lamunan saya terhenti, kembali saya amati pesan dari kawan jurnalis ini, kemudian saya buka juga berita dari portal online pelaksana pilkada, dalam judul beritanya tertulis nama sosok yang saya ceritakan diatas : “Sukirman dan Bong Ming Ming Resmi Menjadi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bangka Barat Periode Tahun 2021-2026”. Saya tertegun, setelah sekian panjang perjalanan, mungkin ini lah salah satu mimpi si (seniman) demi memajukan Kabupaten Bangka Barat. Saya bermunajat, di kepemimpinannya ini Bangka Barat tambah maju dan makmur, masyarakat pun semakin sejahtera. Karena saya siap bersaksi, ia sulit digoda dengan “pelicin” nomor wahid sekalipun, apalagi untuk urusan yang mempertaruhkan kesejahteraan masyarakat, jangan harap dah.   

Selamat Pak, Haji Sukir Memang oughh yeahh   

Sukabumi, 16 Dzulhijjah 1443 H

* Pemimpin Redaksi Target Buser Online

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *