Budaya Korupsi “Trend” Dikalangan Birokrat Dan Politikus Bermental Rakus

Ilustrasi

Oleh : R. Sugiawan (Pegiat Anti Korupsi)

 

Korupsi merupakan sebuah kata yang menjadi musuh bersama seluruh anak bangsa dan sangat menyakitkan apabila mendengar atau menyaksikannya. Masalah korupsi bahkan terus menjadi berita utama (headline) dalam setiap lembaran pemberitaan media. Korupsi kini menjadi sebuah masalah yang sangat mengkhawatirkan serta menjadi penyakit politik yang selalu menghantui sikap dan moralitas para penyelenggara negara dan elit politik negeri ini. Tingginya tingkat korupsi yang terjadi selama ini membuat korupsi seakan menjelma menjadi sebuah budaya yang terus dipelihara dalam kehidupan bangsa ini.

Salahsatu modus kepala daerah terungkap untuk menutupi perilaku korupsinya, beberapa kepala daerah yang meraih Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK pun saat ini dijadikan trend untuk “tameng” mengelabui publik terhadap perilaku korupsinya. Pemberian opini WTP berarti menandakan daerah sudah membuat laporan sesuai standar. Akan tetapi, mengapa sejumlah kepala daerah yang berhasil memperoleh opini WTP justru terjerat kasus korupsi. Setelah dilakukan pengembangan oleh penegak hukum, ternyata ada transaksi jual beli status/opini WTP antara auditor dan oknum kepala daerah, kemudian beberapa auditor BPK “Nakal” pun terungkap dalam kasus “akibat memberikan opini WTP” ini.

Perilaku korupsi yang terjadi selama ini menempatkan indonesia pada level dan tingkatan negara terkorup di dunia. Berdasarkan data laporan tahunan Badan Anti-Korupsi Dunia (Transparency Internasional) dalam catatan Corruption Perceptions Index 2017, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih berada pada peringkat ke 96 dengan skor 37/100 dari 180 negara. Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara tetangga seperti, Malaysia yang berada di peringkat 62 dengan skor 47/100, Brunei Darusalam yang berada di peringkat 32 dengan skor 62/100, dan Singapura yang berada pada peringkat Keenam dengan skor CPI 84 sebagai negara di Asia yang dinilai paling bebas korupsi. (Sumber : www.transparency.org/cpi for more information)

Di tengah Indeks Persepsi Korupsi yang masih tinggi di atas, perilaku korup dikalangan penyelenggaraan negara dan elit politik bukan menurun tetapi malah semakin menemukan sisi buruknya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini, dari anggota Dewam hingga kepala-kepala daerah di Indonesia yang melakukan tindak pidana korupsi. Deretan kepala-kelapa daerah yang terjerat dalam pusaran masalah korupsi pun tidak sedikit dan menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota terjerat kasus korupsi. Sepanjang tahun 2017 terhitung sudah enam kepala daerah yang tertangkap karena tindakan korupsi diantaranya, Samsu Umar Abdul Samiun (Bupati Buton), OK Arya Zulkarnaen (Bupati Batubara), Ahmad Syafii (Bupati Pemekasan), Siti Masitha Soeparno (Walikota Tegal), Ridwan Mukti (Gubernur Bengkulu), dan Eddy Rumpoko (Walikota Batu).

Hingga tahun 2018 ini, KPK telah menetapkan tersangka (±) kepada 19 Kepala Daerah, 17 diantaranya Bupati/Walikota dan dua diantaranya gubernur Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh), Zumi Zola (Gubernur Jambi), masih teringat jelas beberapa bulan lalu kasus korupsi yang dilakukan berjamaah oleh para anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), KPK menetapkan sebagai tersangka kepada 41 (empat puluh satu) orang “wakil rakyat” di kota malang, dan masih bnyak kasus lainnya, sampai yang terbaru kasus Bupati Kabupaten Bekasi Neneng Hasanah Yasin yang terjaring OTT oleh KPK.

 

Lemahnya Mental

Banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi memunculkan sebuah pertanyaan besar publik, kira-kira apa sebenarnya yang menyebabkan pejabat publik kita terlibat kasus korupsi? Dan mengapa sulitnya melenyapkan perilaku korupsi ini? Korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extraordinary crime) yang memberikan hambatan terhadap setiap pertumbuhan dan kemajuan peradaban pembangunan bangsa. Praktik korupsi pada dasarnya tidak hanya menyangkut masalah kerugian negara dan pelanggaran hukum, tetapi juga menyangkut perampasan hak sosial rakyat dan merusak tata kelola pemerintahan. Korupsi timbul karena mentalitas dan sikap keserakaan yang muncul ketika ada sebuah kesempatan dan kebebasan dalam menentukan kebijakan.

Begitu banyak pembangunan di daerah yang terhambat karena mentalitas para pejabat publik yang korup dan memiliki monopoli tersendiri terhadap kekuasaan penyalagunaan anggaran dalam pembangunan daerahnya. Sehingga, tidak jarang ditemukan banyak anggaran dan belanja kebutuhan pembangunan daerah yang diselewengkan atau diputuskan secara sepihak demi memuluskan tindakan korupsi yang dilakukan. Selain itu, suap menyuap dalam proyek-proyek pembangunan kerap memberikan sebuah stimulus untuk para pejabat daerah dalam mengesahkan peraturan dan perijinan yang memberikan keuntungan lebih secara ekonomi serta politik terhadapnya.

Tantangan terhadap mentalitas dan integritas pejabat dan elit lokal di daerah menjadi sorotan utama karena sulitnya menemukan pemerintahan daerah yang bebas serta bersih dari praktik-praktik korupsi. Berbagai langkah strategis, kebijakan, serta mekanisme hukum yang diatur, seolah-olah tak mempan bagi pejabat dan elit lokal untuk melakukan tindakan korupsi. Publik akhirnya kehilangan kepercayaan terhadap mentalitas, sikap dan perilaku pejabat daerah yang hanyak berorientasi pada kepentingan pribadi tanpa memperhatikan berbagai permasalahan pembangunan yang ada.

Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan sebuah kesadaran penuh dan kemauan politik (political will) dari para pejabat dan elit politik lokal untuk menumbuhkan kembali kualitas mental kepemimpinan yang benar-benar memiliki orientasi pada peningkatan daya saing serta kemajuan daerah. Kesadaran orientasi dan perbaikan kualitas mental ini harus dimulai dari cara pandang, pola pikir (mindset), sikap, serta perilaku yang mengarah kepada semangat anti korupsi.

 

Berbenah “Tradisi” Politik

Ilustrasi Foto : harianfoto.com

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat korupsi pejabat dan elit politik lokal di daerah meningkat karena mahalnya biaya atau modal politik dalam Pilkada. Mulai dari Pra-pilkada (verifikasi pencalonan di partai politik guna mendapatkan dukungan, logistik kampanye dan team pemenangan) hingga puncak pelaksanaan pilkada, tidak sedikit biaya atau modal yang dikeluarkan pejabat atau elit politik lokal guna mencapai sebuah kemenangan dalam pilkada. Sehingga untuk memuluskan langkah politik pada pelaksanaan pilkada, salah satu jalan pintas yang dilakukan pun yakni tindakan penyuapan dan korupsi. Selain itu, apabila donasi dan modal pribadi tak cukup untuk mengikuti serta membiayai proses pilkada, biasanya elit politik atau pejabat lokal mencari donatur yang sifatnya mengikat dan jikalau nanti mencapai kemenangan akan mendapatkan ganti rugi atau imbalan melalui proyek-proyek tertentu.

Inilah menjadi pemicu mengapa dikatakan sulit untuk memutuskan mata rantai korupsi di daerah. Dengan melihat kenyataan demikian, dibutuhkan sebuah “evaluasi politik” bersama antara elit politik lokal, partai politik baik di tingkat pusat maupun daerah, dan Kementrian Dalam Negeri untuk memperkuat Inpektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah sehingga mampu mengatasi maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh kepala-kepala daerah di Indonesia. Partai politik dan elit politik memiliki tanggung jawab moral untuk melaksanakan seleksi kepemimpinan daerah serta meminimalisir biaya politik yang tinggi pada saat pelaksanakan pilkada.

 

Evaluasi Lembaga Penegak Hukum

ilustrasi lemahnya penagakan hukum

Jika kita melihat dari catatan Mahkamah Agung (MA), bukan hanya birokrat dan politikus saja yang terjerat masalah korupsi, tetapi juga pejabat hukum itu sendiri (seperti hakim, jaksa dan lainnya).

Meskipun berbagai aturan untuk meminimalisir kasus korupsi sudah dibuat sedemikian rupa, pengawasan juga dilakukan cukup ketat, dan hukuman penjara juga sudah diterapkan bagi para koruptor, tetapi praktik korupsi tetap saja marak dari pusat hingga daerah, baik yang kelas kakap maupun kelas ikan teri, Mereka seolah tak perah jera.

Menurut data dari Mahkamah Agung (MA), penanganan kasus korupsi menempati urutan kedua setelah kasus narkotik. Itu menunjukkan bahwa masalah korupsi memang masih menjadi masalah besar di Indonesia.

Dengan persoalan dan permasalahan yang sangat kompleks ini, menjadikan prilaku korupsi seperti rantai makanan (makan dan dimakan), maka pemerintah harus segera memberikan solusi untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi, karena ini menyangkut rasa kepercayaan rakyat kepada pemimpin dan pemerintah.

 

Gagas, Gerakan Nasional Perangi Korupsi

Karena tingkat korupsi di negeri ini masih sangat tinggi, serta upaya pemerintah dan lembaga-lembaga terkait yang menangani masalah korupsi seperti kepolisian, KPK, atau Pengadilan Tipikor sudah melakukan berbagai cara dan upaya untuk menangkap dan memenjarakan para koruptor serta mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan korupsi.

Tugas pemberantasan korupsi bukan hanya dibebankan kepada pemerintah dan lembaga terkait saja. Jika ke depan kita menginginkan negara indonesia ini ingin lebih maju dan bersih dari korupsi, maka masyarakat non-pemerintah pun seharusnya ikut berkontribusi dalam mengawasi kasus-kasus korupsi dan memberi sanksi dan hukuman sosial bagi para koruptor.

Korupsi harus kita lihat sebagai kejahatan kemanusiaan yang buruk, penyakit ini seperti kanker ganas yang bisa menggerogoti tubuh bangsa dan negara Indonesia. Hendaklah Seluruh lapisan masyarakat ikut serta dalam memerangi kejahatan korupsi. Serta organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti LSM, Ormas, Paguyuban, Komunitas aktivis anti korupsi, dll harus mempunyai dan bisa mengedukasi kepada masyarakat lebih luas, untuk membangun Kesadaran orientasi dan perbaikan kualitas mental, cara pandang, pola pikir (mindset), sikap, serta perilaku yang mengarah kepada semangat anti korupsi, dan termasuk kepada para tokoh agama, jangan sampai malah berpatron atau menjalin koalisi dengan para koruptor.

Para tokoh harus aktif mengkhotbahkan di mimbar-mimbar keagamaan tentang bahaya korupsi bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara. Para tokoh agama juga harus berani menyerukan korupsi sebagai tindakan “kejahatan keagamaan”, bukan hanya “kejahatan kemanusiaan”, yang akan mendapat sanksi berat dari Tuhan.

Untuk menimbulkan efek jera. Memadukan strategi “tactical countercorruption” (menangkap, mengadili, memenjarakan, dan memiskinkan para koruptor) dan “strategic countercorruption” (seperti memberi sanksi dan hukuman sosial kepada para koruptor), misalkan contoh di Negara-negara maju seperti Jepang, Salandia Baru, Denmark, Finlandia, dan sebagainya, korupsi dipandang sebagai sebuah “aib sosial” dan kejahatan kemanusiaan yang sangat memalukan.

Karena itu, siapapun yang terjerat dan tertangkap atas kasus ini, menundukkan kepala dan merasa malu karena bisa mencoreng nama baik dan martabat dirinya, keluarga, dan kelompoknya.

Pemandangan sebaliknya yang justru terjadi di indonesia. Para koruptor bisa senyam-senyum dan tertawa riang gembira di hadapan awak media seolah mereka melakukan tindakan mulia dan bermartabat. Sama sekali tidak ada rasa malu secuilpun di wajah-wajah mereka. Hal itu bisa jadi karena korupsi bukan dipandang sebagai sebuah “aib sosial” dan masyarakat tidak menjatuhi sanksi dan hukuman sosial berat kepada para koruptor.

Pemerintah harus meningkatkan hukuman yang lebih keras lagi bagi para koruptor, terutama kepada mereka para birokrat, politikus dan penegak hukum “Nakal” yang setiap bulan diberi atau menerima gaji yang bersumber dari Uang Rakyat. Serta pemerintah harus memberikan edukasi secara nasional kepada seluruh masyarakat, untuk berperanaktif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

Mari kita kobarkan semangat perilaku Anti Korupsi untuk dapat meminimalisir, mencegah, dan menghilangkan Praktik dari “budaya korupsi” di Indonesia. Berkomitmen untuk tetap merealisasikan semangat Anti Korupsi, dan mulai detik ini kita harus bertekad untuk menjadikan indonesia sebagai negara yang bebas dari koruptor.

#Salam_Anti_Korupsi

Penulis : R. Sugiawan

Editor : Ferdinand Pardede

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *