Wartawan Dijegat, Dewan Pers Digugat (Bagian 2)

TB-Online, Jakarta – Sidang gugatan yang bertujuan untuk melindungi kebebasan pers agar wartawan tidak dikriminalisasi dalam menjalankan tugas jurnalistik terus berjalan. Pada Senin, 21 Mei 2018, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah berlanjut sidang gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Dewan Pers, yang diwarnai protes oleh kuasa hukum penggugat Dolfie Rompas.

Hal ini terkait tentang legal standing atau keabsahan tergugat Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo sebagai pemberi kuasa kepada dua orang kuasa hukum untuk mewakili tergugat menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (21/5/2018).

Kuasa hukum penggugat, Dolfie Rompas, SH, MH mempertanyakan surat pleno Dewan Pers (DP) yang memilih Yosep Adi Prasetyo sebagai Ketua Dewan Pers hanya ditanda-tangani oleh tergugat seorang diri padahal seharusnya ikut ditanda-tangani oleh seluruh anggota Dewan Pers.

Menurut Rompas, hal ini pertanyaan besar terkait surat pleno Dewan Pers (DP), “Selain itu statuta Dewan Pers tidak dicantumkan bahwa Ketua Dewan Pers bisa bertindak ke dalam maupun keluar untuk kepentingan hukum, sehingga penunjukan kuasa hukum seharusnya ditanda-tangani oleh seluruh anggota Dewan Pers,” kata Rompas kepada awak media usai persidangan.

Ahmad Yani yang ditemui usai persidangan di PN Jakarta Pusat menjelaskan bahwa ada perubahan paradigma terjadi ketika terjadi perubahan rejim pada waktu orde baru dimana hak tunggal untuk menyatakan legalitas keabsahan dari media (ketika itu) ada pada pemerintah.  Dan dengan adanya reformasi dan UU Pers yang baru, menurut Yani, bahwa itu (peraturan pemerintah tentang keabsahan media) dibebaskan semua.

“Cukup dibentuk lembaga badan pers (Dewan pers) sebagai tempat pemberi informasi supaya untuk melakukan koordinasi pembinaan dan lain sebagainya. Bukan untuk melakukan keabsahan atau sertifikasi dan sebagainya (peraturan dewan pers). Kalau sertifikasi keahlian itu kan tanggung jawab dari media tersebut dan kelompok medianya  itulah yang akan melakukan pengujian dan kemudian membentuk yang namanya organisasi pers. Dan organisasi pers (sekarang)kan tidak tunggal. Maka yang paling berhak untuk melakukan uji kompetensi menurut saya adalah organisasi profesi dan organsisasi profesi itu adalah organisasi yang menaungi pekerja per situ sendiri.” Ungkap Ahmad Yani.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) Heintje Mandagi mengatakan bahwa dirinya menghormati kehadiran Dewan Pers, meskipun hanya dengan mengutus kuasa hukumnya. “Intinya Dewan Pers sudah beritikad baik menanggapi gugatan kita. Saya berharap Dewan Pers bisa menyadari kekeliruannya bahwa peraturan dan kebijakan yang dibuatnya sudah sangat merugikan media dan wartawan, bahkan lebih jauh lagi telah mengancam kemerdekaan pers yang notabene menjadi tugas utama Dewan Pers,“ tegas Heintje kepada media-media yang meliput sidang tersebut.

Lebih lanjut Heintje menambahkan, ”Kami menggugat Dewan Pers untuk menghapus diskriminasi terhadap media cetak dan online, baik nasional maupun lokal yang berjumlah puluhan ribu di seluruh Indonesia. Selain itu untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap pers yang akhir-akhir ini marak terjadi akibat rekomendasi Dewan Pers yang berkaitan dengan verifikasi media dan Uji Kompetensi Wartawan.”

Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum DPN PPWI, Wilson Lalengke bahwa Dewan Pers sudah melanggar konstitusi karena kebijakannya berpotensi mengkriminalisasi pers dan media. “Presiden saja, jika melanggar konstitusi dapat di-impeachment atau dilengserkan. Nah, jika Dewan Pers yang melanggar konstitusi apa sanksinnya yang harus diberikan kepada Dewan Pers? Gugatan kita untuk melindungi kemerdekaan pers bagi media cetak dan online lokal maupun nasional dari diskriminasi dan kriminalisasi adalah sangat fundamental. Oleh karena itu Komnas HAM perlu juga turun tangan dalam menyikapi permasalahn ini. Ini wajib karena yang dilanggar Dewan Pers berkaitan dengan Hak Azasi Manusia, yakni warga rakyat dan wartawan, serta pemilik media yang sudah dijamin oleh UU Pers dan UUD 1945,“ papar lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu. (SEM/AK/Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *