Secara Hukum Internasional, Papua Merupakan Bagian NKRI

Bambang Sugiarto, S.H , M.Sc (pengamat Hukum Internasional)

Jakarta – Secara historis Sejak tahun 1866 Papua berada dalam penjajahan tiga negara eropa yakni: Belanda, Inggris dan Jerman. Bagian sebelah timur pulau Papua yang dikenal dengan sebutan Papua New Guinea dikuasai oleh Jerman dan Inggris.

Hal tersebut diuraikan oleh pengamat Hukum Internasional Bambang Sugiarto S.H. M. Sc. Di Jakarta, Jumat (14/9/2018) terkait berbagi upaya kelompok yang ingin memisahkan diri Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dikatakan Bambang Sugiarto, setelah melalui trustee PBB/Trus teritory of New Guinea, kedua wilayah tersebut lalu dipercayakan kepada Australia dan administrasinya dijadikan satu dalam territory of papua new Guinea sedangkan bagian barat Papua lebih dikenal dengan nama West Papua dikuasai oleh Belanda dan diberi nama Netherland New Guinea penentuan tapal batas ketiga wilayah kekuasaan itu dikuatkan melalui deklarasi raja Prusia pada tanggal 22 Mei 1885.

Dijelaskannya, deklarasi ini dan juga tidak adanya klaim dari pihak lain maka status Papua bagian barat sah sebagai milik Belanda dan tidak perlu menunggu pengakuan dari siapapun. Pada tanggal 17 Maret 1910 Belanda menetapkan Polandia (sekarang Jayapura) sebagai ibukota Netherland new guinea nama ibukota itu (Polandia) diberikan oleh Kapten Sachse kota pantai dengan geografinya yang berbentuk itu sangat mirip dengan garis pantai utara negeri Belanda pada tanggal 17 agustus 1945, Hindia Belanda memproklamasikan kemerdekaannya menjadi negara Indonesia. Indonesia pun menuntut semua wilayah bekas Hindia Belanda sebagai wilayah kedaulatannya.

Salah satu pemicu munculnya sikap saling curiga antara Papua dan pemerintah Indonesia yakni adanya pemahaman yang berbeda tentang sejarah integrasi Papua kedalam NKRI Wilayah bekas koloni Belanda, Papua barat, telah menjadi bagian dari Indonesia sejak tahun 1969 melalui sebuah referendum kontrofersial yang diawasi PBB, “ ungkap Alumni UGM Jogjakarta ini.

Pendukung kemerdekaan mengatakan pemungutan suara itu, yang dikenal sebagai Pepera, tidak sah sehingga referendum kedua terkait status wilayah itu harus digelar, upaya untuk melepaskan diri dari Indonesia telah memicu konflik panjang di wilayah yang kaya sumber daya alam tersebut, Padahal sejarah integrasi dimaksud sudah sangat jelas, tertulis, dan terdokumentasikan secara resmi hingga Badan dunia PBB. Namun demikian sikap saling curiga itu sengaja diciptakan dan dipelihara oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan tertentu baik dari luar maupun dari dalam negeri untuk melepaskan Papua dari NKRI.

Legal Standing Integrasi Papua ke Indonesia

Disampaikan Bambang Sugiarto, salah satu prinsip dasar yang terdapat dalam hukum internasional telah melatar belakangi jauh sebelum Papera 1969. Legal Standing Papua menjadi bagian yang sah dari NKRI adalah Azas Uti Posedetis juris, azas ini diakui dalam hukum internasional dan sudah dipraktekan secara luas diberbagai negara azas ini pada intinya mengatur bahwa “batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka” konsekuensi logis dari azas tersebut diatas dikaitkan dengan masalah Papua barat otomatis beralih status nya menjadi bagian wilayah Republik Indonesia sejak saat proklamasi 17 Agustus 1945.

“Bila kita kaitkan sejarah dari Papua dengan salah satu azas dalam hukum internasional yaitu azas Uti Posedetis yuris tersebut dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, sejak tanggal 17 Agustus 1945 wilayah bagian barat pulau Papua resmi menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan wilayah negara kesatuan republik Indonesia namun dalam pelaksanaannya Belanda nampak tidak iklas untuk melepaskan wilayah Papua ini sehingga pemerintah Indonesia untuk membawa status politik wilayah Papua ini harus melalui perjalanan panjang dan melelahkan diberbagai konfrensi, “ tegasnya.
Seperti konfrensi meja bundar tahun 1949, perjanjian New York 1962 , Pepera tahun 1969 dan finalisasinya sidang PBB pada tanggal 19 november 1969, perjuangan pemerintah Indonesia ini membuahkan hasil pada Tanggal 15 Agustus 1952.

Belanda menandatangani New York Agreeman yang difasilitasi PBB. Sesuai persetujuan New York itu , Belanda menyerahkan kekuasan atas Irian Barat kepada PBB untuk maksud itu, dibentuklah badan pemerintah sementara PBB Untea pengambil alihan pemerintah Irian barat oleh Untea ini tercatat dalam resolusi majelis Umum PBB nomor 1752 tanggal 21 September 1962. Maka tanggal 1 Okober 1962 secara resmi berlangsung penyerahan kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada Untea dibawah piminan Adninustrato Jose Rolz Bennet yang tidak lama kemudian diganti oleh dr Djalal Abdoh.

Pada tanggal 31 Desember 1962 bendera Belanda diturunkan dari wilayah Papua Barat dan sebagai gantinya dikibarkanlah bendera Indonesia Merah Putih berdampingan dengan bendera PBB pada bulan Pebruari 1963 Sekjend PBB ke Jaya Pura untuk memperjelas bahwa PBB akan menjamin kelancaran proses alih kekuasaan dari Untea kepada Pemerintah Indonesia.

“Sebab pedoman intergrasi Papua 1 Mei 1963 maupun hasil PAPERA 1969 yang melahirkan resolusi PBB 2405. Hasil Papera itu sah sesuai ” New York Agreement” tahun 1962 dan Papera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, pada 19 Nopember 1969. Ini berarti kembalinya Papua ke pangkuan Indonesia sudah didukung penuh oleh masyarakat Internasional PBB, “ paparnya.

Terkait berbagai argument yang berkembang, kebijakan pemerintah RI terhadap status Papua ditinjau dari Hukum Internasional sudah final yaitu, Papua merupakan bagian dari wilayah NKRI. Mengingat ketika proses beritergrassinya hukum Internasional ke dalam hukum Nasional. Maka Hukum Internasional itu juga harus menghormati Hukum Nasional suatu negara, termasuk Indonesia dalam hal ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *