Patgulipat Sertifikat Plasma Nusa Makmur,. Menguak “Bandit” Dilahan Sengketa

Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) dilahan HGU (Foto: Wikkipedia)

TBOnline (BANYUASIN) – Raibnya jejak sertifikat di Blok 10 milik warga Dusun II, Desa Nusa Makmur, Kecamatan Air Kumbang, Banyuasin-Sumsel yang sedianya diajukan sebagai calon plasma perusahaan perkebunan sawit PT Tunas Baru Lampung (TBL) kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai instansi pembiayaan, menyiratkan buruknya manajemen dan pengelolaan program nasional revitalisasi perkebunan ditingkat bawah. Siapa yang diuntungkan dalam polemik ini dan bagaimana cerita panjang  pencarian sertifikat warga ini?

Dokumen yang dimiliki Target Buser, salah satunya ialah surat berkop Koperasi Tunas Mekar Sari Jaya (TMSJ) bernomor: 105/Kop.TMJS/VII/2014 yang ditandatangani bersama Ketua Koperasi Suratman, Kepala Desa Nusa Makmur Arifin dan Sudar’ain Sembiring Koordinator Plasma PT TBL. Surat ini ditujukan kepada BRI Kantor Cabang A. Rivai – Palembang pada Juli 2014. Isinya meminta agar 6 buah sertifikat petani plasma yang sudah diserahkan kepada pihak BRI ditarik kembali karena masih proses pembenahan di Nusa Makmur. Enam nama pemilik dan nomor sertifikat yang tertera dalam surat ini ialah: Suryati (Nomor Sertifikat: 1421), Santo (Nomor Sertifikat: 1422), Sajari Mustofa (Dua sertifikat, masing-masing dengan nomor: 1424 dan 1428), Nasrudin (Nomor Sertifikat: 1441) dan Sardi (Nomor Sertifikat: 1440). Menurut Kades Arifin ia sama sekali belum menerima balasan surat dari pihak BRI ini. “Saya tidak tahu karena tidak ada tembusannya kepada saya,” ujarnya.

Bacaan Lainnya

Perjuangan meminta sertifikat ini kembali pada pemiliknya terus dilakukan pihak Koperasi Tunas Mekar Sari Jaya (TMSJ). Dua tahun setelah surat bernomor: 105/Kop.TMJS/VII/2014 ini dilayangkan, pada 16 Desember 2016 kembali dikirimkan surat bernomor: 28/Kop.TMSJ/XII/2016, kali ini ditujukan kepada Kantor Pusat BRI Divisi Agri Bisnis di Jakarta. Surat ini ditandatangani Ketua Koperasi Supriyanto yang menggantikan ketua koperasi terdahulu Suratman bersama-sama dengan Sudar’ain Sembiring Koordinator Plasma PT TBL. Isinya memohon BRI Kantor Pusat Jakarta agar memberikan kembali sertifikat calon petani plasma kelapa sawit PT TBL karena masih terdapat sengketa dilokasi.

Kebun Kelapa Sawit milik PT TBL di Banyuasin (Foto: raymafathriya.blogspot.com)

Berbeda dengan surat terdahulu, dalam surat ini terdapat penambahan jumlah sertifikat yang dimohonkan. Bila surat tahun 2014 berjumlah 6 sertifikat, surat tahun 2016 ini berjumlah 8 sertifikat, dua nama baru muncul, masing-masing: Atim (Nomor Sertifikat: 927) dan Pairin Widodo (Nomor Sertifikat: 905).

Rupanya surat koperasi dengan nomor: 28/Kop.TMSJ/XII/2016 ini tidak muncul begitu saja. Setidaknya terdapat dua kejadian yang mendesak Koperasi TMSJ meminta BRI agar mengembalikan sertifikat warga ini. Pertama, ialah ketika pada 7 September 2016 terdapat 6 orang warga Dusun II menggeruduk Kantor Kepala Desa Nusa Makmur terkait sertifikatnya yang belum dikembalikan. Dalam berita acara pengaduan masyarakat yang diterima Target Buser ini, diketahui 6 warga tersebut menyerahkan sertifikat miliknya yang terdapat di Blok 10 ke PT TBL untuk mengikuti program plasma tahun tanam 2008. Namun karena lahan plasma tersebut tidak kunjung ditanami sawit maka ke-6 warga ini meminta kepala desa memfasilitasi pengembalian sertifikat asli tersebut.

Kedua, surat Kepala Desa Nusa Makmur, Arifin yang merespon pengaduan masyarakat pada 7 September 2016. Surat berkop Desa Nusa Makmur  bernomor: 140/202/NM/XI/2016 tanggal 1 November 2016 ini ditujukan kepada Ketua Koperasi Tunas Mekar Sari Jaya (TMSJ) agar mengembalikan sertifikat warga desa Nusa Makmur yang tidak ikut program plasma.

Lama tidak terdengar dan tidak pernah diketahui ada atau tidaknya surat balasan dari BRI atas permintaan mengembalikan sertifikat warga yang dilakukan Koperasi TMSJ sejak 2014. Tiba-tiba tahun 2018  Koperasi Tunas Mekar Sari Jaya (TMSJ) melayangkan kembali surat ke Divisi Agri Bisnis BRI Pusat di Jakarta. Surat bernomor: 13/Kop.TMSJ/XII/2018 ini melengkapi dua surat terdahulu, ditandatangani Ketua Koperasi Supriyanto dan Sudar’ain Sembiring sebagai Koordinator Plasma PT TBL. Isinya pun serupa meminta 8 buah sertifikat lahan seluas 14,09 hektar agar dikembalikan kepada pemiliknya. Sama hal dengan dua surat sebelumnya, pihak desa maupun warga pemilik sertifikat juga tidak mengetahui ada atau tidak balasan dari pihak BRI.

Lelaku Mafia di Blok 10 Lahan Plasma

Lambannya pengembalian 8 sertifikat calon petani plasma yang diserahkan melalui mantan Kepala Desa Nusa Makmur Karino antara tahun 2005 dan 2006 ini menimbulkan friksi ditengah-tengah warga. Kecurigaan muncul bahwa terdapat pihak yang memanfaatkan sertifikat ini demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Pendapat yang mengemuka ialah apabila memang sertifikat ini tidak dapat pembiayaan dari BRI seyogyanya segera dikembalikan kepada pemiliknya. Terlebih muncul Blok 10A yang luasannya persis dengan Blok 10 milik warga yang sertifikatnya belum dikembalikan, namun pemilik lahan di Blok 10A ini diduga diatasnamakan orang lain diluar Desa Nusa Makmur. Ada dugaan sertifikat lahan warga di Blok 10 yang hingga kini belum dikembalikan dipoles untuk melegitimasi keberadaan Blok 10A. “Kita tidak tahu siapa nama pemilik di Blok 10A, orang Koperasi TMSJ yang lebih paham,” cerita sumber Target Buser dilokasi.

Ketua Koperasi TMSJ Supriyanto menjelaskan alasan 8 sertifikat calon plasma PT TBL ini tidak mendapat pembiayaan (kredit -red) dari BRI karena dilokasi masih terdapat sengketa. “Perusahaan nggak bisa garap karena tanah itu diklaim orang,” jelasnya. Menurut Supriyanto pernah suatu ketika, lokasi akan dibondres (baca: pembuatan kanal atau batas keliling) oleh pihak perusahaan namun dihalang-halangi pihak lain yang menduduki lahan, sementara pemilik sertifikat yang sah tidak dapat berbuat banyak.

Terkait lambannya penarikan sertifikat warga yang tidak memperoleh pembiayaan, Supriyanto mengaku bila hal itu merupakan mekanisme perbankan. “Silahkan diklarifikasi langsung ke BRI,” katanya. Namun Supriyanto menjelaskan 8 sertifikat itu kini sudah berada di Koperasi TMSJ. “Sertifikatnya sudah di kami, cuma yang 3 masih proses roya (pencoretan hak tanggungan -red) di notaris. Sudah diambil dari BRI, nanti menyerahkannya sekalian,” yakinnya.

Pihak BRI Palembang melalui Dedi, staf administrasi perkreditan membenarkan 8 sertifikat petani plasma tersebut sudah dikembalikan. “Awal Januari 2019 sudah diserahkan ke pihak PT TBL melalui Sudar’ain Sembiring disaksikan Koperasi TMSJ,” katanya. Dedi juga mengiyakan bila 8 sertifikat ini kreditnya tidak dicairkan BRI karena terdapat sengketa. “Katanya sih seperti itu (sengketa -red) namun saya tidak tahu persis karena saya masih baru disini, bukan saya waktu itu,” ujarnya.

Sementara itu, salah seorang pemilik sertifikat kepada Target Buser mengaku jenuh dengan kondisi ini, ia hanya bisa pasrah dan terus menunggu sertifikat beserta uang ganti rugi bisa ia dapatkan. “Kita maju kena mundur kena pak, sekian puluh tahun sertifikat kita belum dikembalikan, itu kerugian yang luar biasa. Kalau memang tidak ada pembiayaan seharusnya dari dulu sudah dikembalikan. Sekarang ada kabar akan dikembalikan namun tidak jelas ada uang ganti rugi atau tidak. Karena kalau untuk lahannya yang dikuasai kita tidak ributkan lagi, kita semua hanya korban. Namun kalau hanya sertifikat yang kembali buat apa,” ujarnya lirih.

Johannes Hutabarat, salah seorang yang dikuasakan warga pemilik sertifikat (foto: istimewa)

Salah seorang penerima kuasa dari warga pemilik sertifikat, Johannes Hutabarat mengaku heran akan kondisi ini, menurutnya sebagai perusahaan berskala internasional sangat kecil kemungkinan PT Tunas Baru Lampung (TBL) mengebiri hak-hak petani plasma. Ia curiga ada permainan ditingkat bawah. “Banyak informasi yang kita terima terkait tertutupnya pengelolaan dan pembiayaan lahan plasma khususnya di Nusa Makmur. Baik itu jumlah seluruh sertifikat plasma, hasil panen hingga nilai pembiayaan di BRI termasuk masa berakhirnya kredit. Ini permainan mafia yang menikmati keuntungan dari lahan warga selama bertahun-tahun. Sedangkan petani plasma tidak dapat berbuat lebih jauh, padahal pembiayaan plasma memakai sertifikat warga dan seluruh biaya ditanggung negara melalui BRI. Sebagai perusahaan berlabel terbuka tentunya PT TBL sangat memperhatikan hal ini, namun ini dirusak para oknum dibawah yang diduga kongkalingkong mengakali nilai agunan sertifikat warga,” bebernya.

Terkait 8 sertifikat warga yang belum dikembalikan, Hutabarat berkeyakinan ada permainan yang melibatkan beragam pihak. Baik ditingkat desa, koperasi, BRI Palembang maupun divisi PT TBL yang mengurusi plasma. “Ini masih apriori namun akan kita ungkap kebenarannya. Logikanya mudah saja, kalau tidak dibiayai yah seharusnya dari dulu sudah dikembalikan, namun sekarang katanya pihak Koperasi TMSJ mau mengembalikan sertifikat tersebut, hanya masih terdapat 3 buah sertifikat yang masih dalam proses roya di notaris. Saya tegaskan kepada warga yang memberikan kuasa pada saya agar tidak menerima sertifikat tersebut bila tidak ada ganti rugi,” tegasnya. Hutabarat menilai proses roya terhadap sertifikat warga yang dilakukan Koperasi TMSJ sebagai kegiatan keliru. “Sertifikat orang lain yang sekian tahun belum dikembalikan tanpa seizin pemiliknya dititipkan ke notaris. Itu kan pakai biaya, siapa yang bayar? Menurut saya daripada untuk membayar notaris saya menghimbau kepada pihak-pihak terkait agar lebih baik menggelar musyawarah dengan warga pemilik sertifikat terkait pembayaran ganti rugi. Ini lebih bijak, karena ini bom waktu yang setiap saat bisa meledak,” tegasnya.

Hutabarat bersama tim nya mengaku akan membawa permasalahan ini ke pusat. “Ini bahkan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, karena mematikan sumber kehidupan warga. Makanya Presiden Jokowi perlu tahu bagaimana kondisi riil warga transmigran yang sudah memperoleh hak berupa sertifikat dari program nasional transmigrasi sekitar tahun 1970 –an kini nasibnya tidak ubah seperti zaman penjajahan. Ini penzholiman besar-besaran,” katanya.

Sementara itu, hingga berita ini diturunkan surat Target Buser bernomor: II/Konf-TB/I/2019 Tanggal 24 Januari 2019 terkait program revitalisasi perkebunan di Banyuasin yang ditujukan kepada manajer PT Tunas Baru Lampung (TBL) Cabang Banyuasin belum terjawab. “Untuk urusan plasma yang bertanggungjawab Pak Sudar’ain Sembiring,” tukas keamanan kebun di pos jaga.  Redaksi

 

(Artikel ini merupakan kelanjutan atau berita kedua dari naskah sebelumnya : “Cerita Hitam Sertifikat Plasma Nusa Makmur. Puluhan Tahun Digadai Tanpa Kompensasi” – Ikuti terus investigasi Target Buser)

 

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar