Negara Harus Lindungi Pertamina Dari Kebangrutan Sistemik

TB-Online, Jakarta – Presiden Jokowi pada awal memimpin mengambil kebijakan tidak populis ketika menghapus subsidi BBM padahal pada saat itu harga BBM dunia justru turun tajam. Namun mendekati Pilpres 2019 Presiden Jokowi sepertinya ingin mengambil hati rakyat dengan kembali akan menurunkan harga BBM dan menambah jumlah premium. Perubahan kebijakan terkait BBM secara kasat mata menunjukan bahwa harga BBM hanya perkara politik bukan berdasarkan langkah strategis taktis untuk bangsa dan negara. Korban kebijakan ini adalah Pertamina, BUMN yang digadang-gadang akan menjadi perusahaan minyak yang akan bersaing secara Internasional. Pernyataan ini disampaikan oleh Aza El Munadiyan Waketum PP KAMMI dalam Focus Grup Discussion ” Membongkar Akar Masalah Pertamina”. FGD ini diselenggarakan pada Rabu, (1/8) oleh PP KAMMI di Ropisbak Warunkomando. Hadir dalam FGD kali ini Yusri Usman Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia(CERI), Arie Gumilar Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu( FSPPB), Binsar Effendi Hutabarat Ketua Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) dan di moderatori oleh Irawan Malebra M.H.

Membuka sesi FGD Aza El Munadiyan menyampaikan mengenai peran dan tanggung jawab Pertamina yaitu pada penyedia utama BBM di Indonesia. Namun berbagai kebijakan seringkali menghambat kinerja Pertamina. Permasalahan yang ramai akhir-akhir ini adalah penghapusan direktorat migas, kemudian penyediaan kembali BBM Premium dan yang terakhir melego aset Pertamina, holding Migas khususnya Pertagas dengan PGN,” papar Aza.

” Niat yang terlihat baik yang dilakukan pemerintah seringkali tidak berdasarkan kajian dan analisis mendalam lebih pada kepentingan politik dan berbagi kue ekonomi. Data menunjukan bahwa neraca perdagangan Indonesia bulan Januari 2018 mengalami defisit sebesar US$ 670 juta dimana faktor penyebabnya dipicu tingginya angka impor terutama komoditas minyak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) awal tahun 2018, tingkat impor minyak Indonesia Year-to-Year (YoY) mencapai 26,44%. Selain itu kenaikan impor karena meningkatnya investasi di sektor hulu hingga mencapai US$ 20 miliar atau meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya dimana mayoritas belanja modal tersebut berasal dari komoditas impor,” papar Aza lebih lanjut.

“Beban keuangan yang besar ini semakin berat dengan rencana penyediaan kembali BBM bersubsidi. PP KAMMI menolak kenaikan harga BBM dan kebijakan subsidi yang seringkali tidak tepat sasaran. Seharusnya jika pemerintah memberikan subsidi BBM dengan memberi aturan pembatasan penggunaan misal hanya dijual pada jalur khusus untuk angkutan umum (pelat kuning), angkutan pedesaan, keperluan pertanian dan nelayan dan sepeda motor agar mudah diawasi,”papar Aza lebih lanjut.

“Selama ini pemerintah tidak mendorong subsidi BBM yang tepat sasaran semisal ke angkutan komersial yang jelas akan menurunkan harga pokok, kemudian menurunkan harga jual barang dan mengurangi tekanan inflasi pada akhirnya. Dampaknya masyarakat yang mampu dan diluar dunia usaha juga ikut menikmati subsidi BBM. Pada sisi lain BBM murah tidak mendorong masyarakat beralih ke transportasi publik, apabila pemerintah tidak mengambil kebijakan yang strategis bagi Pertamina maka Pertamina akan bangkrut beberapa tahun kedepan,” kata Aza.

Menutup paparan awalnya, Aza memberikan saran kepada Pemerintah bahwa konsistensi terkait kebijakan strategis jangka panjang, pembuatan kebijakan memperhatikan keseimbangan kepentingan rakyat miskin dan dunia industri dengan BBM murah, iklim investasi yang sehat dan setoran dividen besar dari Pertamina. (Isk)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *