Menyingkap “Bandar” Dibalik Pengesahan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh

Pelaksanaan Ibadah Haji (istimewa)

Pada 28 Maret 2019 lalu DPR RI bersama pemerintah yang diwakili Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyetujui RUU inisiatif  DPR tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh (PIHU).

Normalnya perubahan suatu UU didasarkan kepentingan negara untuk meningkatkan pembinaan, pelayanan dan perlindungan rakyat dalam mengimplementasikan tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial, serta menuju terselenggaranya penyelenggaraan negara yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Bacaan Lainnya

UU Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh jo UU Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dan UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara – Ketiga UU tersebut mengatur kontruksi kelembagaan yaitu, Menteri Agama sebagai regulator selaku pembantu presiden dengan kewenangan mandatori Kementerian Agama dan selaku operator pelaksanaan ibadah haji dan umroh maka diatur lembaga independen yang mengawasi pelaksanaan ibadah haji yaitu Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Pemisahan kewenangan ini menghasilkan tata kelola yang positif, karena ditemukan ribuan masalah oleh KPHI untuk perbaikan pelayanan, pembinaan dan perlindungan jamaah haji selama ini dan kedepan. Begitu juga Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menghasilkan tranparansi, akuntabilitas dan profesionalisme keuangan haji yaitu keuangan masyarakat yang jumlahnya sangat besar.

Menurut Ketua Komisi VIII DPR RI, M Ali Taher Parasong dalam Buletin Parlementaria Nomor 1040/II/II/2019 halaman 2, bahwa dana tersebut termasuk DAU berjumlah Rp 113 triliyun.

Dalam UU No 13 tahun 2008 disebutkan bahwa pemerintah sebagai penyelenggara dan penanggungjawab dalam penyelenggaraan ibadah haji, seiring dengan penataan kelembagaan dan SDM aparatur pemerintah yaitu UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan maka dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang kredibel, akuntable dan profesional yang melayani customer warga negara Indonesia dengan uang rakyat bukan uang negara maka diperlukan badan usaha milik negara yang menjadi operator pelaksana ibadah haji dan umroh serta penguatan Badan Pengelola Keuangan Haji ( BPKH) dan Komisi Pengawas Haji Indonesia ( KPHI).

Akan tetapi RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh yang disahkan pada 28 Maret 2019 lalu melakukan -makar kekuasaan- dari penyelenggaraan ibadah haji oleh pemerintah dalam hal ini presiden menyerahkan kepada Menteri Agama, pelaksana ibadah khusus kepada pengusaha, sementara KPHI dan BPKH dibubarkan. Sehingga terang benderang kembali ke era negara kekuasaan atau era jaman jahiliyah.

Terhadap realita demikian apakah Presiden Jokowi menyadari atau malah –ditelikung- oleh informasi dari Menteri Agama Lukman Hakim bersama mitranya komisi VIII DPR RI ? Untuk itu perlu informasi yang kredibel dan bertanggungjawab ketika presiden dan Kementerian Hukum dan HAM memberlakukan UU Penyelenggaraan Haji dan Umroh pada bulan April 2019 dalam lembaran negara.

Saya kira sebagai tindakan preventif KPK perlu menginvestigasi Menteri Agama dan anggota DPR komisi VIII yang pada 28 maret 2019 telah mengesahkan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh (PIHU) menggantikan UU  Nomor 13 tahun 2008. Karena dalam UU yang baru disahkan tersebut, kewenangan dan kekuasaan Menteri Agama dan travel haji untuk haji khusus sangat besar, karena semua kewenangan dikembalikan disatu tangan yakni Menteri Agama. Sementara perlindungan, pelayanan konsumen diabaikan. Hal ini dapat memantik kesempatan Menteri Agama bersama anggota DPR Komisi VIII menyalahgunaan kewenangan dengan model imperalisme dan kolonialisme gaya baru.

RUU yang disahkan berbeda dengan RUU yang disosialisasikan tahun 2014 yang memisahkan regulator, operator, player dan pengawasan. Sehingga apabila RUU baru ini disahkan,  maka mudah terendus praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).  Untuk itu sangat diharapkan oleh rakyat agar KPK turun tangan.

  Dudung Badrun (Advokat dan Ketua Bid Hukum DPP IPHI)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *