Kisah Dibalik TMII, Dari Aset Rp20,5 Triliun Hingga Jebloknya Pengelolaan

Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang sebelumnya dikelola Yayasan Harapan Kita kini diambil alih pemerintah (Foto : Ist)

TBOnline [JAKARTA] — Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan mencatat aset tanah milik negara yang ada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) bernilai Rp20,5 triliun. Menurut Direktur Barang Milik Negara DJKN Encep Sudarwan, di TMII ada banyak jenis aset negara yang beberapa masih dalam tahap valuasi.

“Tanahnya semua milik negara. Disana itu tanah ada 6 semuanya barang milik negara (BMN), ada sertifikatnya dan nilainya sekarang Rp20,5 triliun. Itu tanahnya saja,” ujarnya dalam media briefing virtual, Jumat (16/4/2021).

Bacaan Lainnya
Direktur Barang Milik Negara DJKN Encep Sudarwan (Foto : Ist)

Menurutnya, aset lainnya yang masih dihitung nilainya ada bangunan mulai dari bangunan milik 10 Kementerian/Lembaga, museum informasi hingga 31 anjungan milik Pemerintah daerah.

“Itu sekarang sedang dicek detailnya. Sebab, disana ada yang non BMN dan ada juga yang bekerjasama dengan swasta untuk pengelolaannya,” kata dia.

Ia berharap dengan kembalinya TMII di bawah pengelolaan pemerintah nantinya bisa berkontribusi dalam penerimaan negara. Sebab, selama ini Yayasan Harapan Kita yang menjadi pengelola TMII tidak pernah membayarkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Selama ini memang PNBP nya tidak pernah disetor,” kata Encep.

Salah satu wadah permainan yang ada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII)

Sebelumnya berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2021, salah satu objek wisata andalan Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) resmi diambil alih pengelolaannya oleh pemerintah dari Yayasan Harapan Kita.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menegaskan bahwa TMII sejatinya adalah aset negara dan akan dikelola negara.”Menurut Keppres 51 tahun 1977 TMII itu milik negara dan tercatat di Kemensetneg, yang pengelolaannya diberikan pada Yayasan Harapan Kita,” katanya.

Menteri Sekretaris Negara, Pratikno (Foto : Ist)

Ditambahkan Pratikno dalam Akta Persembahan TMII tertanggal 17 Juni 1987 di hadapan notaris, Yayasan Harapan Kita telah menyerahkan kepemilikan TMII pada pemerintah, yang terdiri atas lahan tanah dan seluruh bangunan di atasnya.

Pembangunan TMII berawal dari adanya keinginan Siti Hartinah Soeharto, istri Presiden Soeharto yang menjadi ketua Yayasan Harapan Kita, untuk membuat suatu destinasi wisata yang menampilkan keragaman kekayaan budaya Indonesia.

“Jadi, Yayasan Harapan Kita ini sudah hampir 44 tahun mengelola aset milik negara yang tercatat di Kemensetneg,” jelas Pratikno, yang menambahkan bahwa pengambilalihan ini membuat pihak yayasan tidak lagi bisa mengelola operasional TMII.

Proyek Mercusuar Gagasan Ibu Negara

Konsep TMII sendiri dikemukakan Ibu Tien, panggilan akrab Siti Hartinah Soeharto, dalam rapat Yayasan Harapan Kita (YHK) di kediamannya di Jalan Cendana 8, Jakarta Pusat pada 13 Maret 1970. Di situlah Ibu Tien menjelaskan gagasannya untuk mendirikan suatu tempat rekreasi yang mampu menggambarkan kebesaran dan keindahan tanah air dalam bentuk wahana miniatur.

Rencana Ibu Tien disambut oleh Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta saat itu. Dengan beroperasinya TMII, Bang Ali membidiknya sebagai lahan pendulang uang bagi Pemprov DKI Jakarta.

“Yang jadi soal waktu itu, buat saya, di mana taman itu harus dibangun? Dan bagaimana mengadakan dananya?” cerita Ali Sadikin kala itu.

Semula Bang Ali memilih Waduk Melati dekat Hotel Indonesia di Menteng, Jakarta Pusat. Namun, di sana lahannya sangat terbatas. Paling-paling hanya ada tanah seluas 20 ha. Pencarian lokasi kemudian dilakukan lagi dengan orientasi sekitar inti Jakarta. Pertimbangannya supaya memudahkan masyarakat berkunjung ke sana nantinya, ketemulah kawasan Cempaka Putih. Tapi seperti Menteng, tanah di Cempaka Putih juga tidak luas.

Pintu masuk TMII (Foto : Ist)

Ibu Tien sendiri condong kepada kawasan sekitar Sunter, Jakarta Utara sebagai lokasi pembangunan TMII. Lagi-lagi, lahan di Sunter tidak cukup luas hanya sekira 15 Ha. Karena tidak mendapat lokasi yang cocok, Bang Ali menyarankan agar dicari tempat yang lebih luas. Alasannya, perkembangan Jakarta ke depan sebagai kota metropolitan bisa terganggu kalau ada proyek TMII didalamnya. Bang Ali menyarankan tempat yang lebih luas namun berada di pinggiran Jakarta.

Anjuran Bang Ali ditanggapi Ibu Tien dengan memanggil Brigjen TNI Herman Sarens Sudiro ke Cendana. Herman adalah komandan korps Hankam merangkap project officer pembangunan TMII mewakili YHK. Saat itu, Herman baru saja membereskan pembebasan lahan untuk pembangunan markas besar ABRI di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur.

Ibu Tien lantas meneruskan maksudnya kepada Herman terkait dengan penentuan lokasi proyek TMII. Herman mengusulkan mencari tanah di pinggiran Jakarta, yakni Bambu Apus, Jakarta Timur. Kawasan itu dikenal betul oleh Herman sewaktu mengurusi lahan untuk pembangunan markas besar ABRI. Untuk meyakinkan Ibu Tien, Herman menjelaskan seluk-beluk lokasi Bambu Apus mengunakan peta.

“Setelah Bu Tien melihat lokasi, menyatakan setuju dengan rencana itu, kami menghadap Pak Harto. Setelah itu tanah dibebaskan dengan mengumpulkan kepala desa di sekitar Bambu Apus,” tutur Herman.

Akhirnya, melalui SK Gubernur tanggal 7 Maret 1972 diputuskan bahwa lokasi pembangunan berlokasi di Bambu Apus, Pondok Gede. Menurut Herman, harga tanah yang dibebaskannya untuk lahan proyek tersebut sebesar Rp50 per meter. “Tugasku dalam TMII adalah membebaskan tanah, sedangkan pembangunannya diserahkan ke pihak swasta,” tutur Herman.

Ali Sadikin sendiri dalam memoarnya membenarkan lokasi pembangunan TMII di Bambu Apus Pondok Gede sebagai pilihan Herman Sarens. Setelah persoalan lokasi teratasi, Bang Ali menyediakan lahan seluas 400 Ha yang kira-kira setara dengan separuh Kebayoran Baru.

“Saya tidak punya alasan untuk tidak menyetujui pembangunan Taman Mini itu. Malahan ini menguntungkan masyarakat Jakarta,” kata Bang Ali.

Lokasi TMII ini memang cukup strategis, terletak di sebelah timur Jalan Tol Jagorawi yang akan dibangun sehingga berpotensi besar untuk berkembang. Selain itu, keamanan di kawasan itu dapat dikatakan terjamin karena berdekatan dengan Markas Besar ABRI. Barangkali faktor keamanan ini pula yang kian memantapkan penempatan lokasi TMII berdampingan dengan markas militer seiring bergulirnya kritik ditengah masyarakat.

Dalam perjalanannya, agenda pembangunan TMII tidak luput dari sorotan publik.  Banyak kalangan menganggap pembangunan itu hanya proyek mercusuar yang justru memboroskan anggaran negara. Apalagi dengan prakarsa Ibu Tien yang dianggap melampaui wewenang sebagai seorang ibu negara. Tapi dalam pengaruh rezim militer Soeharto, pembangunan TMII jalan terus. Gerakan menentang pembangunan TMII pun surut secara perlahan.

Ibu Tien mengatakan pembangunan proyek miniatur itu menelan ongkos Rp10,5 miliar. Biaya sebesar itu seyogianya dibebankan kepada kelompok swasta dan pengusaha. Namun, skema pendanaan itu menjadi ganjil karena daerah tingkat I (provinsi) juga ikut menanggung 16 persen dari total pembiayaan. Pada 20 April 1975, TMII resmi beroperasi. Ilham (lip/historia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *