BPJS Kesehatan Defisit Triliunan Rupiah. Kok Bisa Yah?

Kartu BPJS Kesehatan (Foto; Istimewa)

TB – Online (JAKARTA)– Ketua Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) James Allan Rarung mengatakan, skema paket pembiayaan Indonesian Case Base Groups (INACBGs) yang selama ini diterapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus diganti. Pasalnya, skema tersebut gagal membentuk pengelolaan keuangan di BPJS Kesehatan jadi lebih baik. Hal tersebut terbukti dari defisit anggaran yang mencapai sekitar Rp 5 triliun.

Ia menuturkan, penerapan CBGs sudah menimbulkan preseden buruk. Di Malaysia dan Thailand, penerapan skema pembiayaan model CBGs juga gagal dan sudah diganti. Padahal, di dua negara tersebut jumlah pesertanya tak sebanyak yang dimiliki BPJS Kesehatan yang mencapai hampir 200 juta orang. “INACBGs harus diganti, penerapannya tidak cocok di Indonesia. Komisi IX DPR RI pada dengar pendapat yang terakhir sudah merekomendasikan agar INACBGs diganti,” kata James di Jakarta, Kamis, 8 November 2018.

Bacaan Lainnya

Ia menjelaskan, dalam skema INACBGs, jasa kesehatan dibayar berdasarkan pengelompokan diagnosis penyakit. Menurut dia, selain tak tepat sasaran, skema tersebut juga merugikan jasa medis karena rumah sakit berusaha memenuhi apa yang mereka keluarkan terlebih dahulu. “Kalau dulu kan fee for service, jadi kalau satu penyakit dibayar berdasarkan sakit. Nah, CBGs dibentuk pengelompokan, ternyata lebih murah kalau begitu. Pembiayaan yang diterapkan pemerintah lewat skema ini memang menjadi lebih murah,” katanya.

Ia menyatakan, dengan biaya yang murah, pemanfaatan fasilitas kesehatan untuk pasien tidak maksimal. Pembayaran klaim yang kerap telat turut merugikan rumah sakit rekanan. ”Sedangkan rumah sakit uangnya kan harus terus berputar. Jadi mengapa ini dipertahankan? kalau yang saya pelajari, supaya BPJS Kesehatan dapat menunda pembayaran klaim,” ujarnya.

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai, skema paket pembiayaan merugikan sekitar 2.400 rumah sakit mitra BPJS Kesehatan. Ia menduga, karena kerap tersendat biaya klaim, pelayanan di rumah sakit rekanan tersebut menjadi tak optimal. “Sehingga menyebabkan peserta mendapatkan pelayanan pengobatan under treatment. Penanganan ini disebabkan karena paket yang diberikan pemerintah kepada rumah sakit belum masuk nilai keekonomian yang diharapkan rumah sakit,” kata Timboel.

Ia berharap, komunikasi antara pemerintah dan pihak rumah sakit harus mulai difokuskan pada evaluasi skema CBGs yang selama ini diterapkan. Hal itu harus dilakukan supaya tidak merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. Mulai dari rumah sakit, dokter dan perawat, perusahaan alat kesehatan dan obat-obatan dan peserta JKN.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih mengatakan, berdasarkan undang-undang, ada tiga jalan yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Pertama, menaikkan iuran setiap peserta dari semua kelas termasuk yang terdaftar sebagai peserta penerima bantuan iuran. Kedua, dengan mengurangi manfaat pelayanan. “Atau penggabungan antara cara pertama dan kedua,” kata Daeng.

Menurut dia, cara ketiga lebih bijak diterapkan. Dengan catatan, pemerintah menambah kecukupan dana iuran peserta sekaligus menyesuaikan manfaat pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada peserta BPJS Kesehatan. Redaksi (PK)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *